Saya bukan tukang batu biasa,
Saya bukan hanya membangun rumah ibadah,
Saya sedang membangun peradaban,
Peradaban yang berisi orang-orang beribadah,
di tempat yang indah, sejuk dan nyaman
Banyak diantara kita, memandang apa yang dikerjakannya sehari-hari, sebagai sesuatu yang amat sangat sepele. Sering kita dengar kata-kata “Apalah saya ini?” Sehingga, tidak jarang, untuk menutupi rasa tidak berharga itu, kita mencari cari hal-hal lain, sebagai sangkutan, untuk menutupi rasa tersebut. Padahal, setiap pekerjaan, pasti bermakna bagi sesama. Bukankah ada firman yang menyatakan “Dan tidak aku jadikan segala sesuatu dengan sia-sia”. Tidakkah itu berarti bahwa “Aku hadir di dunia ini, pasti untuk sesuatu yang bermakna” Keyakinan seperti ini, menjadi sesuatu yang mendasar, penting, dan perlu dalam menjalani pekerjaan apapun.
Kerja yang hanya dimaknai sebagai “kerja”, beda dengan kerja sebagai “karya”. Kerja sebagai “kerja” menjadi ibarat tukang batu yang hanya berorientasi pada pendapatan yang diperoleh dari hasil kerja. It’s all about money. Sedangkan, memberi makna kerja sebagai “karya”, tukang batu akan memandang pekerjaannya sebagai sarana untuk aktualisasi diri, mewujutkan ide atau gagasan terhadap penciptaan dunia yang lebih baik. Mendapatkan makna kerja yang tepat dalam suatu pekerjaan, menjadi sesuatu yang amat penting, terutama ketika profesi tersebut mendapatkan tantangan yang besar. Inilah yang, secara teori, sering disebut Purpose.
Angela Duckworth, dalam bukunya yang berjudul Grit menuliskan, terdapat 4 (empat) hal yang, secara internal, berpengaruh pada tingkat kesuksesan seseorang pada suatu pekerjaan : interest (gairah dalam melakukan pekerjaan), practice (melakukan berulang ulang dengan lebih baik dan lebih baik lagi), purpose (memiliki tujuan yang jauh lebih tinggi dalam melakukan pekerjaan tersbut), hope (membentuk harapan dengan melakukan sesuatu yang terbaik). Yang menarik adalah, konsistensi dari interest dan practice akan sangat dipengaruhi oleh seberapa besar purpose seseorang terhadap apa yang dikerjakannya. Purpose disini dimaksudkan sebagai intensi untuk melakukan sesuatu yang memberikan manfaat sebesar besarnya bagi sesama manusia.
Mari kita melihat dunia “pengadaan”. Apakah peran kunci pelaku pengadaan selama ini? Apakah para penggiat memandang diri mereka sekedar menjadi alat institusi untuk melakukan pengadaan jembatan, jalan, gedung sekolah, dan masih banyak lagi? Sehingga, mereka menjadi demikian mudah terperangkap pada peraturan pengadaan barang/jasa, lengkap dengan segala tantangan dan konsekwensinya. Atau, para pelaku pengadaaan memandang dirinya sebagai salah satu kunci “pembentuk peradaban”. Bukankah MRT (mass rapid transport), kalau sudah jadi nanti, akan membentuk peradaban transportasi yang baru bagi warga DKI.
Perbedaan cara pandang terhadap peran pengadaan, akan membuat para penggiat pengadaan memilih isu-isu penting yang berbeda. Dalam kasus pertama, sebagai alat institusi, para penggiat pengadaan mungkin akan lebih terperangkap pada isu-isu sekitar peraturan yang terlalu mengikat, sistem imbal jasa yang kurang memadai, dan segala bentuk remeh temeh lainnya.
Sebaliknya, jika penggiat pengadaan merasa menjadi bagian dari Pembentuk Peradaban, maka akan melontarkan isu isu: peradaban seperti apa yang layak diterapkan di Indonesia, barang/jasa apa saja yang layak ada untuk mendukung peradaban seperti itu, cara mengadakan seperti apa yang sesuai dengan peradaban tersebut. Maka, dunia pengadaan tidak lagi dipikirkan oleh unit kerja pengadaan saja, tetapi menjadi milik bersama. Sehingga, pengadaan tidak lagi menjadi upacara unit kerja pengadaan saja, tetapi menjadi upacara bersama seluruh warga bangsa.
Jadi, silahkan memilih, dengan cara apakah para penggiat pengadaan ingin dikenang anak cucunya: sekedar tukang batu, atau salah seorang yang ikut andil dalam membentuk peradaban masa depan yang lebih baik.
Penulis: Bambang Adi Subagyo (BAS) Mei 2018
Image courtesy of Builtbycivilization
Lihat Profil Penulis Tetap